Ketika Kamu Berkhianat

khianat

Kamu merana. Mendekatinya dengan peluh keringat dan air mata. Kamu merasa tersiksa. Berlari meraih tangannya tanpa daya. Haruskah kamu semenderita itu untuknya? Kamu menderita karena apa? Karena kamu takut sendiri? Atau karena kamu takut ditinggal oleh dia yang menghidupimu selama ini? Atau karena kamu memang mencintainya? Kamu menderita untuk apa?

Ia semakin jauh pergi darimu. Membiarkanmu tanpa asa. Bagaimana lagi? Kamu sudah mengkhianatinya, membuatnya geram, membuat ia tak lagi memiliki belas meski sayang dan cinta memang tak akan punah seketika. Ia semakin gegas saja, padahal dilihatnya kamu tersuruk-suruk dalam langkah.

***

Aku mencintaimu,” katamu lirih pada suatu malam yang tak berbulan padanya. Ia tersenyum, memelukmu lembut. Kamu merasainya, merasai kebahagiaan dan kecintaannya yang tak berujung padamu. Kamu bahagia melihat ia bahagia, tapi sulutan rasa bersalah terus membakar satu bagian dirimu. Secepatnya kamu sunggingkan senyummu, berusaha mengguyur rasa bersalah yang membakar itu agar padam. Kamu berhasil! Ya, tentu saja. Sebab kamu memang tak pernah belajar menghargai perasaannya, perasaan orang yang berusaha membuatmu selalu bahagia.

Kamu dongakkan kepala dan menatap matanya,

jangan tinggalkan aku, ya…” pintamu. Memang dasar kamu tak melihat dirimu sendiri. Kamu takut ditinggalkannya, padahal kamu berhubungan dengan lelaki lain. Menghianatinya.

Ia membelai rambut sebahumu, mencium keningmu.

Tak akan.” Bisiknya ditelingamu. Kamu merasa nyaman, kamu merasa aman, kamu merasa bahagia. Bahagiakah kamu dengan memdustai orang yang mencintaimu tanpa batas itu? Keterlaluan! Kamu tekan rasa bersalahmu kuat-kuat. ‘Aku tak melakukan kesalahan,’ katamu pada diri sendiri. Hah! Memang dasar kamu tak punya hati.

***

Aku tak akan menyulitkanmu. Aku juga tak akan mengikatmu. Aku ingin kamu bahagia. Jika yang membuatmu bahagia kali ini adalah dengan berhubungan dengan lelaki itu, aku tak apa. Tapi, berhentilah menemuiku, berhentilah bersikap baik padaku, berhentilah bersikap seolah aku ini satu-satunya bagimu. Aku tak marah kamu jujur, aku tak apa-apa. Aku memang mencintaimu, tapi benar aku baik-baik saja.” Manatap matamu, ia katakan itu tanpa intonasi. Datar. Tapi, matanya menusukmu. Mata merah karena kesakitan dan kecewa itu mengarah padamu.

Kamu yang biasanya punya segudang pembelaan dan bantahan kali ini diam. Kamu bisa apa? Memang kamu punya pembelaan? Tentu saja tidak. Kamu sadar itu dari awal. Kamu menahan tangis. Memang dasar perempuan, selalu saja hanya bisa menangis. Padahal sudah jelas kamu yang salah. Dasar!

Kediamanmu ditinggalnya sendirian. Akhirnya tangismu meledak. Kamu tersiksa melihat matanya yang kesakitan, kamu merana melihat ia dirajam sedih, kamu tak berdaya melihat ia yang juga tak berdaya. Kamu jatuh ke dasar sumur penuh duka. Kamu yang melakukan kesalahan, tapi tak hanya kamu yang menderita pedihnya siksa.

Kamu mengejarnya, berusaha meraihnya dan mendapatkannya lagi dalam pelukanmu. Tapi, kamu terlalu tak punya hati. Lelaki mana yang diam saja dan menerima penghianatan pasangannya? Lelaki mana akan tetap membuka tangan dan mengatakan “aku tetap mencintaimu”?

Kamu percaya, kamu mengejarnya kali ini bukan karena hutang budi, bukan karena rasa bersalah yang mendalam. Kamu mengejarnya karena kamu merasa tak bisa berjalan tanpanya. Sayang dan cintamu selama ini tertutup keangkuhan.

Tapi ia semakin jauh meninggalkanmu, membiarkanmu tanpa asa. Bagaimana lagi? Kamu sudah mengkhianatinya, membuatnya geram, membuat ia tak lagi memiliki belas meski sayang dan cinta memang tak akan punah seketika. Ia semakin gegas saja, padahal dilihatnya kamu tersuruk-suruk dalam langkah.

Nikmati kesakitan itu seperti kamu menikmati kebahagiaan atas pendustaanmu.

SELESAI

Iboekoe, Patehan, Yogyakarta

7 juni 2013