Ketika Perempuan (tak) Bisa Memilih

Sekali lagi aku merasakan sakit yang bukan hakku. Merasakan perih milik hati orang lain. Merasa dilukai walau tak ada yang memukulku. Ini menyakitkan dan menyebalkan.

3 hari yang lalu tanpa sengaja aku menyalakan channel televisi yang menyiarkan acara seorang muallaf perempuan yang kemudian menikah dengan lelakinya. Tanpa kehadiran dari keluarga pihak perempuan karena tak ada yang merestui kepindahan agamanya, mereka melangsungkan pernikahan. Tidak ada pembawa acara, tidak ada gedung yang besar, tidak ada makanan mewah, tidak ada ribuan tamu, dan tidak ada perayaan. Hanya ada pernikahan sederhana, hanya ijab qabul.  Tapi itu sangat menyentuh, terasa sangat sakral, sangat membahagiakan.

Aku menangis bahagia melihat pernikahan itu meski hanya melihat lewat layar kaca.

Hari ini, aku menangis lagi.

Sudah hampir 4 tahun aku berdomisili di luar kota kelahiranku. Aku cukup percaya bahwa dunia berjalan ke depan, maju, dan modern. Aku selalu percaya kisahku adalah kisah yang terakhir. Tapi hari ini, drama itu terulang kembali. Itu bukan dramaku, itu bukan kisahku, itu bukan urusanku, itu bukan kesakitanku, itu bukan hakku. Sayangnya aku kesakitan luar biasa hingga aku tidak bisa menahan perasaanku.

foto dari google
foto dari google

Sekuat apa sih hati perempuan itu? Sekuat apa hingga seorang perempuan harus selalu ditekan?

Perempuan itu, panggil saja ia Dinda. Dinda adalah seorang perempuan yang lembut, baik, hafal alquran, cantik, dan berbakti. Tapi tidak ada manusia yang sempurna, bukan? Ya, kesalahannya hanya satu, ia berasal dari kampung yang jauh dari pusat kota. Kesalahannya hanya satu: ia seorang gadis desa.

Setahun yang lalu Dinda lulus dari SMA, kemudian awal tahun ini, dia menjadi seorang hafidzah. Ia berencana melanjutkan studinya hingga sarjana, maka ia mengikuti ujian masuk ke universitas yang diinginkannya. Pengumuman diterima, Dinda mendapatkan tiketnya. Sayangnya, jalannya tersandung. Ia masih tinggal di pesantren. Orang tuanya sangat menghormati Bu Nyai sehingga apapun yang dikatakan oleh Bu Nyai akan dilakukan oleh kedua orang tua Dinda. Bu Nyai tidak mengijinkan Dinda kuliah, tapi lebih menginginkan ia menikah. Mungkin saja tujuannya baik, ingin mengantarkan anak didiknya menyelesaikan semua sunnah rasulnya. Tapi, mendadak saja aku takut, takut Bu Nyai yang juga aku hormati itu melakukan hal tersebut karena ingin memenuhi kepuasannya. Bukankah ia juga manusia? Bisa saja Bu Nyai ingin memenuhi hasratnya. Siapa yang tahu? Itu cukup mengecewakan. Aku sedih dan tak terima. Ini soal hidup seseorang.

Hanya karena ia adalah seorang perempuan Bu Nyai mengatakan pada pacar Dinda yang satu pesantren dengannya:

Kamu masih tak pantas untuk menikah, tapi untuk Dinda, ia sudah pantas untuk menikah.

Mungkin saja perkataannya benar, tapi dalam posisi Dinda memiliki mimpi dan sedang berusaha mewujudkannya, itu terasa tak pada tempatnya.

Hanya karena Bu Nyai menganggap Dinda sudah pantas untuk menikah maka ia berusaha untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Hanya karena Dinda adalah seorang perempuan, ia menganggap Dinda lebih pantas untuk menikah daripada sekolah. Hanya karena Dinda adalah seorang perempuan, Dinda tak bisa memilih hidupnya sendiri. Hanya karena Bu Nyai adalah gurunya, maka ia berhak mengatur hidup orang lain. Kurasa ada yang tak sesuai di sini. Kurasa ada yang tak pada tempatnya.

Mungkin, mungkin saja Bu Nyai lupa bahwa ketika ia muda, ia juga pernah memiliki mimpi (atau tidak)?

Sekarang Dinda mendapat tekanan untuk segera menikah dan tidak dibolehkan sekolah. Kau tahu bagaimana tekanan itu? Mengerikan! Aku berlebihan? Tidak, aku tahu bagaimana rasanya.

Hidup ini tak adil. Aku pernah mengatakan itu 4 tahun yang lalu, juga aku cukup membenci diriku karena terlahir sebagai perempuan, waktu itu. Butuh beberapa tahun untukku menemukan kepercayaan diriku lagi, mendapatkan kembali bahwa aku ‘ada’. Sekarang, ada seorang gadis yang harus mengalami hal yang mengerikan itu. Aku sakit meski bukan aku yang ada di posisi itu. Aku merasa seperti tenggelam kehabisan napas, sesak.

Aku menangis sedih melihat lagi tragedi seperti itu.

Perempuan, oh perempuan. Ketika kau merasa kau tak kuat lagi menghadapi persoalan dalam hidup, ingatlah bahwa kau adalah kekuatan itu. Perempuan adalah kekuatan. Kumohon, tegarlah! :’)

Grabag, Magelang, 21 Juli 2015