Melawan Kematian

Tak pernah kuduga sebelumnya bahwa aku akan bertarung mati-matian dengan Kematian. Kugunakan satu tanganku untuk menghela tongkat maut Sang Kematian yang siap terayun dihadapanku. Entah siapa atau apa yang membuat tongkat maut yang berbentuk seperti gigi-gigi kunci itu tetap berdiri angkuh meski Sang Kematian tak memegangnya. Ia seharusnya tahu aku tak akan kalah dengan mudah, aku belum ingin mati. Ia menyipitkan matanya seperti mendengar apa yang aku pikirkan. Ini jelas tak adil, ia pasti mengerti serangan apa yang akan aku gunakan untuk melawannya, menyingkirkannya dari hadapanku untuk tiga bulan kedepan. Ya, aku hanya butuh waktu tiga bulan untuk menyelesaikan urusanku, lalu aku akan pasrah pada Kematian.


Tapi, aku memang sial, Kematian tak mau mendengar omonganku sama sekali. Mungkin karena ia tak pernah hidup maka ia tak mengerti urusan orang hidup yang perlu penyelesaian.

Bukankah dengan berserah diri padaku, masalahmu akan segera selesai? Tak ada yang perlu kau pikirkan lagi.

Aku yakin suara itu berasal dari Sang Kematian meski aku tak melihat ia memiliki mulut. Kepalanya yang besarnya dua kali lipat besar kepala manusia hanya didedikasikan untuk satu bola mata saja. Ia tak berleher dan memiliki 4 tangan tanpa kaki. Bentuk badannya tak terlihat, setiap ia bergerak, kabut tebal selalu menutupi badannya. Aku pikir, bisa jadi ia tak memiliki badan. Lalu bersambung ke mana keempat tangan itu? Entahlah!

Aku mencibir, “Coba saja hidup sekali, kau akan tahu ada masalah yang harus diselesaikan dengan tetap berada, bukannya pergi. Dan tidak semua masalah akan terselesaikan dengan kematian.”

Aku mendengar suara tawa menggelegar di ruangan ini, di kamar kos ku yang hanya berukuran 3×3 m. Gendang telingaku seperti mau pecah, rasanya seperti banyak paku masuk ke dalam telingamu dan memaksa masuk tanpa kompromi. Tubuhku bergetar mendengar gelegar tawanya. Seharusnya Kematian tak semenakutkan ini!

Masih jelas dalam memoriku ketika aku masih kecil. Aku tahu dari guru ngajiku bahwa jika kita adalah manusia yang berlaku baik selama hidup dan terus menjalankan ibadah, maka ketika Sang Kematian datang, ia akan datang dengan cara yang baik, dengan cara yang halus. Aku ingat benar apa yang dikatakan guru ngajiku itu.

Tapi, apa ini? Kenapa ia datang dengan bentuk yang menyeramkan dan menakutkan seperti ini? Kenapa ia sekasar ini? Bukankah selama ini aku hidup dengan baik? Bukankah aku menyembah Tuhannya dengan baik pula? Kenapa ia mendatangiku tanpa sopan santun seperti ini?

Seharusnya aku mengajukan protes pada Tuhan mengenai utusannya ini, bahwa ia telah melakukan tugasnya dengan tidak benar.

Suara terkekeh yang sinis menguasai kamarku. Aku menggenggam erat pisau yang sedari tadi aku gunakan untuk membela diri, menghalau serangan-serangan Sang Kematian.

Kau bilang kau berbuat baik dan beribadah dengan benar selama ini? Duh, sombong sekali kau. Apa pantas seorang sombong mengadukan protes pada Tuhan? Manusia! hahaha…

Nyaliku ciut, tapi aku tak mau hidupku berhenti meninggalkan masalah di umur 23 tanpa penyelesaian. Semakin erat kugenggam pisau di tanganku.

Tak mau menyerah kau rupanya. Padahal aku tahu, apapun yang kau lakukan hasilnya akan tetap sama saja. Kau tak bisa mengalahkan kematianmu: Aku.

Bisa! Tentu saja aku bisa. Memang kau pikir Tuhan selalu memihak padamu? Jangan merasa menang. Kau mungkin lupa, bahwa Tuhanmu adalah Tuhanku juga. Pergi kau dari sini Kematian sialan! Aku mengumpat tanpa menyuarakannya. Sebab, menyuarakannya akan membuatku seperti orang gila bagi manusia diluar kamarku. Sang Kematian ini harus segera pergi!

“Tok tok tok!” Ketukan terdengar dari luar kamarku. Aku terkejut menatap pintu dan sesekali mengalihkan pandang pada Kematian, memastikan ia tak mencuri kesempatan untuk mengayunkan tongkat mautnya padaku.

“Tok tok tok!” Suara ketukan itu lebih keras.

“Kau di dalam kan, Bram?” Suara seorang perempuan yang aku kenal berseru berbarengan dengan pintu yang terbuka. Sial! Aku lupa mengunci pintu gegara Kematian lebih dulu datang. Sial!

“Apa yang sedang kau lakukan?” Diana terkejut mendapatiku berdiri dengan posisi siap menyerang dengan pisau. Aku melihat pada Sang Kematian, meski ia tak mempunyai mulut, tapi matanya satu-satunya menyiratkan bahwa ia girang tiba-tiba. Aku was-was.

“Jangan melakukan hal-hal bodoh. Letakkan pisau itu. Kau sudah berjanji padaku kalau kau akan bertanggung jawab dengan janin di perutku ini, bukan? Kau sudah berjanji untuk menemui orangtuaku untuk bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan, bukan? Jangan melakukan hal gila. Jangan membuatkku harus menanggung ini seorang diri. Kau berjanji untuk segera menikahiku. Jangan membuatku malu seorang diri!” Diana menghujaniku dengan penyelesaian yang harus aku lakukan, rencana penyelesaian yang aku simpan sampai aku berani melawan Kematian saat ini.

Oh… Kau benar-benar manusia yang berbuat baik selama hidup ya? Hahaha… Kematian mengejekku kali ini.

“Aku tahu. Aku akan melakukannya. Sekarang keluarlah. Nanti aku akan menemuimu.” suaraku bergetar ketika mengatakannya pada Diana. Tapi, wajahnya justru bertambah keras.

“Apa sih yang kau katakan? Sekarang juga kau harus ikut pulang denganku ke Semarang. Aku tak mau menunggu lagi!” Diana bersikeras. Sedang aku semakin was-was, ada kematian di sini!

Memang ada aku, Bocah. Lagi-lagi ia mendengar pikiranku. Kurang ajar!

Kau tak bisa membunuh kematian. Mungkin ini menyalahi tugas dan akan membuatku diberhentikan sementara untuk mengambil jiwa yang lain. Tapi kupikir itu tak masalah. Sebab, aku ingin memberimu pelajaran, bahwa kematian tidak bisa kau lawan.

Setelah suara itu bergema di kamarku, Sang Kematian melirik ke arah Diana lalu mengayunkan tongkat mautnya pada Diana. Sang Kematian hendak mengambil jiwa yang seharusnya tidak dia ambil. Aku panik. Tanpa pikir panjang, aku menancapkan pisau kepada Sang Kematian, ke arah yang kupikir letak jantungnya berada. Ayunan tongkat mautnya terhenti, ia menatapku dengan girang. Bocah pintar! katanya. Aku tertegun. Lalu, ia menghilang.

Aku terduduk. Lega. Akhirnya Kematian pergi juga dari kamarku. Kutatap Diana yang berdiri mematung di depan pintu, kedua tangannya menutupi mulut, matanya mengatakan bahwa ia sangat terkejut, khawatir dan takut.

“Sudah tidak apa-apa, aku akan menyelesaikan urusan kita,” kataku pelan sambil tersenyum. Penglihatanku mulai kabur, mungkin ini akibat kelegaan yang terlalu menguasaiku. Tapi, sebelum aku kehilangan kesadaran, suara terngiang di telingaku: kau tak akan bisa melawan kematian. Aku menunduk, kulihat pisau tertancap di dadaku.

“Penipu licik!” umpatku di akhir kesadaran.