Mencipta Bahagia

Manusia merencanakan A, seperti membalik telapak tangan Allah membuat itu tak ada artinya, ia menyuguhkan kejadian B, kejadian yang tidak pernah terlintas menjadi rencana. Berbarengan dengan itu, emosi manusia juga ikut kocar-kacir. Tidak memperhitungkan sama sekali emosinya akan teraduk-aduk karena perubahan yang tiba-tiba. Dan aku di sini, merasa dipermainkan oleh emosi.

Allah Maha Segalanya tentu saja. Dan Ia juga Maha Perencana yang syuper hebatnya. Hanya saja, aku yang juga masuk jenis golongan manusia ini, merasakan bermacam emosi di saat yang bersamaan. Membuatku cukup stres, bermasalah di kesehatan dan juga di pekerjaan. Untuk hal mengendalikan emosi, aku ibarat cah bayi, isone mung nuruti emosi, belum bisa apa-apa.

Alhasil? Aku mulai mengekspresikan perasaan mengenai hal pribadiku di sosial media dengan sangat terbuka, hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, melakukan hal-hal konyol yang nggak banget di sosial media, marah karena hal-hal kecil. Dan yang paling memalukan adalah aku terus-menerus mengeluh di sosial media. Apa pun kukeluhkan. Tentang hidupku yang tak bahagia. Tentang hidupku yang tak sesuai rencana. Tentang mimpiku yang tak berwujud. Tentang pekerjaan yang berantakan. Tentang hidup yang tak kusyukuri.

Nah itu dia! Akhirnya aku sadar, bahwa selama ini aku kurang bersyukur. Bahkan mungkin aku tidak bersyukur sama sekali. Betapa tidak tahu malunya. Dari kesadaran itu aku mulai menyusun beberapa hal untuk membuatku kembali seperti semula, untuk mengembalikan kebahagiaanku, untuk mencerahkan hari-hariku, untuk menjauhkan diriku dari banyak keluhan yang tiada gunanya.

1. Aku diam, memejamkan mata, dan tidak melakukan apa-apa. Aku hanya mengingat apa saja yang pernah berlalu dalam hidupku. Aku yang dihadiahi jam tangan oleh Babe ketika aku kelas 3 SD tapi belum dipakai sudah dirusakkan adikku, aku hujan-hujanan bersama sahabat SD, aku yang memilih keluar pesantren karena tidak betah, aku yang makan nasi goreng sendirian di kantin karena tidak punya teman ketika SMP, aku yang mulai menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan ketika kelas 3 SMP, aku yang pura-pura sedang flu ketika harus ikut paduan suara, aku yang mulai bergaul cukup baik di SMA, Aku makan soto di kantin bersama teman-temanku di SMA, aku berjalan berdua sambil sama-sama malu-malu dengan pacar 7 tahunku di awal bertemu, aku yang terus-terusan menangis sendirian di kamar karena dijodohkan, aku yang menghabiskan bermalam-malam di sajadah mengemis cinta untuk orang yang harusnya kucintai, aku yang entah keberanian dari mana akhirnya ke Jogja, aku yang bahagia melakukan banyak hal bersama pacar 7 tahunku, aku yang bertahun-tahun bertahan memperjuangkan cinta untuk pacar 7 tahunku, aku yang menyaksikan Babe sakaratul maut, aku yang menyaksikan Babe dikuburkan, aku yang mengakhiri hubungan dengan pacar 7 tahunku, aku yang menjadi berantakan, aku yang kemudian banyak mengeluh dan merasa tidak bahagia, aku yang diam memejamkan mata dan mengingat hidupku.

2. Kukatakan pada diriku sendiri: Aku harus bahagia apa pun yang tengah kualami, aku harus tetap tersenyum apa pun yang menimpaku.

3. Menerima dengan ikhlas apa yang telah terjadi dalam hidupku. Nrimo, tanpa mempertanyakan kenapa, seperti kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku yang mengalami? Kenapa aku tidak bahagia? Dan kenapa-kenapa yang lainnya.

4. Bersyukur. Sebab banyak skenario terburuk dibanding yang kualami saat ini. Mensyukuri apa yang masih ada pada diriku hingga kini. Bersyukur aku masih punya keluarga, bersyukur aku masih sehat, bersyukur aku masih bisa memenuhi kebutuhanku dan Mae, bersyukur aku hidup layak, bersyukur, bersyukur, bersyukur.

5. Menciptakan bahagiaku sendiri. Caranya? Beberes kamar yang kayak kapal pecah, membuat jadwal selama 1 bulan ke depan, melakukan sesuatu agar lupa dengan hal-hal yang tidak mengenakkan, jajan-jajan makanan biar hati senang, dan lain sebagainya.

Aku masih belum pulih benar, terutama hatiku. Tapi aku tak ingin lagi dipermainkan oleh emosi. Aku ingin bisa mengendalikannya. Sebab aku tak ingin terpuruk lagi, aku tak ingin tidak bersyukur lagi. Sebab aku ingin bahagia. Mari ciptakan bahagia. Sebab, hanya diri kita sendiri yang bisa menciptakan bahagia itu.