Pemakaman Ibu Tua

Lita berdiri mematung di depan gerbang pemakaman yang ramai. Pasalnya, ada seorang ibu tua yang meninggal pagi tadi dan baru dimakamkan sore ini. Tak seharusnya sesore ini sebenarnya. Hanya karena menunggu seorang anak yang belum pulang, keluarga yang berduka rela menanti hingga sore. Tapi apa mau dikata, ia tak datang, jejak langkahnya saja tak terdengar. Sepertinya salah satu anak dari ibu tua yang sedang dimakamkan itu memang tak akan menemui ibunya, meski tinggal dalam bentuk jasad tanpa ruh.

Hari semakin sore, pemakaman sudah berakhir. Tinggal segelintir orang yang mungkin keluarga dari ibu tua yang meninggal itu yang masih tinggal, mungkin tak rela ibu tercinta pergi tanpa pernah kembali. Lita masih berdiri mematung tanpa sejengkal pun ia melangkah. Ekspresinya sulit dikata, bibirnya tersenyum, tapi matanya seperti menahan darah, menahan luka, menahan nanah.

Ada apa dengan perempuan itu?” tanya setiap orang yang melewatinya. Hanya berani bertanya-tanya dalam hati atau berbisik-bisik sesama teman tanpa berani menegur. Siapa yang akan menegur perempuan seperti Lita. Penampilannya berkuasa dan tak tersentuh. Tapi matanya membuat iba, membuat siapa yang melihatnya ingin berada di sampingnya untuk menghilangkan kesakitan di matanya.

Lita menghela nafas lalu mengambil langkah ke arah mobil yang terparkir di seberang jalan. Sebelum melajukan mobilnya, ia arahkan matanya pada pemakaman itu sekali lagi.

Masa lalu,” gumamnya lirih, kemudian mengemudikan mobilnya menjauhi pemakaman.

Selama Lita menyetir, ia merasa gelisah. Ada desakan dari dalam dadanya yang terus memaksa untuk keluar. Kelamaan, desakan itu mengganggu konsentrasinya. Maka, ia menepikan mobilnya. Mengatur napas.

Lita terbayang wajah ibu tua yang dimakamkan sore tadi. 10 tahun ia tak bertemu dengan ibu tua itu. 10 tahun pula memendam dendam sekaligus rindu. Ia tak dapat menangis lagi sejak 10 tahun lalu, sejak ibunya melukai dirinya dengan membunuh ayahnya.

Ibu khilaf,” kata ibu tua itu sambil tersedu. Tapi Lita tahu, ibu tua itu melakukannya karena ada lelaki lain. Ah, Persetan! Habislah tangis Lita tanpa sisa. Ia tak punya tangis lagi sejak itu.

Tapi dendam itu luruh pagi ini, ketika kakak tertuanya mengabarinya bahwa ibu tua itu meninggal. Ia tak bisa menangis, ia tak bisa pula bersedih. Ia merasa hampa, kosong.

Ibu, aku kangen…”

SELESAI

Kamar Titisari No. 15, Yogyakarta

8 Juni 2013