Prabowo dan Waktu Luang

Sebentar lagi pemilihan presiden. Beberapa minggu terakhir ini, debat capres sering menjadi pokok pembicaraan baik di sosial media maupun di dunia nyata. Di pinggir jalan dan di setiap sudut yang sekiranya akan terlihat jelas, dipasangi spanduk-spanduk berwajah para capres. Tak jarang, saya menemukan pendukung capres yang menjelek-jelekkan capres saingannya. Ini biasa, tentu saja. Memang sudah sewajarnya, saya pikir. Tapi, saya adem ayem, tidak ikut andil menjadi salah satu penggembira dalam menyambut pemilihan presiden yang sebentar lagi akan berlangsung. Saya tidak tertarik, itu saja alasannya. Meskipun mungkin satu suara bisa berpengaruh pada setiap pemilihan suara, tapi tetap saya tak tertarik sama sekali. Ini tidak baik, tentu saja. Tapi, hidup saya selalu tak bersinggungan dengan pilpres tahun ini, sama seperti tahun sebelumnya.

Sampai pada suatu sore tanggal 30 Juni 2014, ketika berhenti di sebuah lampu lalu lintas di depan Super Indo, sebuah spanduk besar terpasang, dan menjadi bahan obrolan saya dan pacar saya.

“Mas milih siapa? Prabowo atau Jokowi?” Tanyaku.

Nggak milih siapa-siapa.” katanya.

Setelah beberapa saat diam, dia melihat spanduk besar dengan gambar potret Pak Prabowo dan Pak Hatta, ia berkata,

“Prabowo itu orang jahat.”

“Kok orang jahat. Kenapa?” Tanyaku setelah beberapa saat tidak menemukan jawaban di otakku yang sepakat bahwa ia adalah orang jahat.

“Adek tidak tahu siapa Prabowo?” Tanyanya lagi tanpa menjawab pertanyaanku. Pertanyaan yang seperti memiliki arti yang sama dengan ‘bukankah seharusnya kamu tahu siapa Prabowo.’

Aku diam. Merasa sangat bodoh seketika. Ini salahku sendiri, sebab tidak pernah membaca atau mendengarkan hal-hal yang berkaitan dengan politik dan segala hal yang berkaitan dengan negara. Aku terlalu sibuk dengan keseharianku sendiri.

Melihatku diam, ia bertanya lagi,

“Loh! Bukannya Adek sudah baca bukunya Budiman Sudjatmiko, ya?” Aku teringat dengan buku berwarna putih dengan cover setangkai mawar merah dan tapak sepatu dengan judul Anak-anak Revolusi.

“Baca, tapi belum selesai. Baru baca seperempatnya.”

Ia mendesah dan akhirnya menanggapi jawabanku. Lampu hijau menyala berbarengan dengan selesainya ia memberi penjelasan singkat. Di sepanjang jalan, kami diam.

Ketika berhenti di penjual es kelapa muda,

“Dek, mungkin lebih baik kalau Adek tidak menonton film-film Korea lagi.” Katanya dengan muka kesal, sedih, dan jengkel. Aku merasa seperti ditembak tepat di jantung. Beberapa bulan lalu aku memang mendapatkan 3 seri drama Korea dari salah satu temanku. Karena sedang malas melakukan beberapa hal, jadi kuhabiskan waktuku dengan menonton drama Korea tersebut.

“Apa hubungannya Prabowo dengan film Korea?” Tanyaku menantang, ngeyel.

Ia mendesah,

“Ya terserah, Adek. Mas nggak mau melarang apapun.”

“Apa hubungannya Prabowo dengan film Korea?” Ulangku.

“Dek, tinggal kita memanfaatkan waktu luang itu untuk apa kok.”

Deg! Rasanya jantungku ditembak tepat ditengah untuk kedua kalinya. Baiklah! Aku salah. Aku tak menggunakan waktu luangku sebaik mungkin. Demi terlihat tak terlalu menyedihkan, aku membela diri campur ngeyel,

“Tapi kan Adek sudah ndak pernah nonton film Korea lagi. Itu kan satu bulan yang lalu.”

“Iya,” jawabnya pelan ogah-ogahan.

Dan aku merasa pembelaanku sia-sia. Sudah terlanjur aku tak menyelesaikan membaca buku karya Budiman Sudjatmiko, sudah terlanjur aku membuang waktu, sudah terlanjur aku dipermalukan oleh ketidaktahuanku sendiri. Rasanya seperti aku adalah manusia yang tak tahu apa-apa dan tidak berusaha mencari tahu dan pintar membuang waktu. Rasanya seperti aku jatuh ke dalam jurang yang dalaaaam sekali.

Sejak itu, aku berjanji tak akan membuang waktuku dengan sia-sia. Betapa menyedihkannya jika kita tak menggunakan waktu sebaik mungkin.