Surat untuk Mae

Ini suratku untukmu, Mae. Surat pertama dalam hidupku yang kubuat untukmu.

Seperti yang kau katakan, Mae. Memang benar bahwa kau sangat menyayangiku sedang aku cukup tak tahu diri dengan menyangkal itu. Ya, sebab cinta seorang Ibu memang tidak terbantahkan.

Lebih dari tiga tahun aku menyangkal semua kasih sayangmu. Bagaimana pun, sebutir kasih sayang tak akan menyakitkan, bukan? Aku meyakini itu dan aku tersakiti, Mae. Aku merasa sakit mesti kehilangan masa remajaku. Aku sempat menyesal tidak mendapatkan hidup senormal orang kebanyakan. Aku memaki dan mengumpat bertahun-tahun menyalahkan diriku sendiri dan berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku membencimu, Mae.

Aku meratap bertahun-tahun, mengapa tak kau berikan aku waktu untuk tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa normal? Seandainya saja kau biarkan aku bertumbuh, tentu sekarang kau akan melihat aku menjajaki tangga kedewasaan. Aku bertanya berkali-kali dalam hati, kenapa kau tak berikan waktu itu, Mae? Kenapa kau memotongnya dengan paksa?

Aku anak durhaka, itu katamu, Mae. Meski hatiku perih mendengarnya, nyatanya aku juga mengatakan hal yang sama pada diriku sendiri.

Mae, apa kau tahu bahwa aku sempat sangat yakin bahwa aku belum bisa memaafkanmu? Sangat yakin hingga aku menjawab, aku tak ingin bertemu denganmu atas pertanyaan teman tentang kerinduanku padamu. Tapi, kau tahu yang sebenarnya terjadi padaku, Mae? Aku murung berhari-hari dan menangis bermalam-malam hanya karena aku ingin melihatmu, hanya karena aku ingin berbincang denganmu, hanya karena aku ingin menonton TV bersamamu, hanya karena aku sangat merindukanmu. Teramat merindukanmu.

Rasanya menyakitkan sekali, rasanya seperti dadaku ditusuk dengan pisau berkali-kali.

Mae, kenyataannya aku tak pernah membencimu.

Aku belum bisa memaafkanmu? Itu bohong. Kuyakinkan diriku sendiri mengenai itu hanya karena ego-ku yang tinggi. Kebenarannya, aku takut kau tak akan pernah memaafkanku. Aku cemas, sedih dan merasa tak bisa melakukan apapun untukmu. Maaf, Mae. Maafkan.

Entah sejak kapan, keyakinan lain hadir. Keyakinan bahwa kau menangis lebih sering dariku, bahwa kau pun juga merindukanku, bahwa kau sangat menyayangiku. Semua yang kau lakukan padaku adalah caramu menyayangiku, bukan begitu, Mae?

Aku menyayangimu lebih dari apapun, tapi trauma itu pun masih memelukku. Aku dihujani ketakutan mengenai banyak hal. Kau tahu apa yang aku inginkan setiap kali aku merasa tak bisa menanggungnya, Mae? Aku menginginkan tangan rentamu itu membelai lembut kepalaku seperti satu kali yang pernah kau lakukan suatu hari lalu, Mae. Sentuhan itu hal yang paling membahagiakanku hingga saat ini.

Ini surat pertamaku untukmu, Mae. Surat yang kubuat untuk mengurangi sesak yang kurasakan. Surat dariku untukmu, Mae.

 

Perempuan Irusmu,